Ada sebuah pengalaman yang sulit saya lupakan, ketika salah seorang sahabat saya berkomentar dengan sangat serius. Ironis, kata salah seorang sahabat saya dalam satu kesempatan pengajian “Sabtu Pagi” (22 Mei 2010) untuk segenap keluarga besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto, di masjid kampus ini, yang sengaja diselenggarakan untuk ber-muhâsabah, dengan tema utama: “Menjadi Insan Kamil dengan Tazkiyatun Nafs”[2], yang secara mendadak ‘saya’ diberi amanah untuk mengantarkannya. Kata salah seorang sahabat saya (yang diberi amanah menjadi salah seorang dosen di perguruan tinggi ini), di ketika “kita” mengalami kegamangan dalam hidup kita; di saat kita hadapi sejumlah persoalan hidup yang tak kunjung usai; di dalam kerinduan kita untuk menjumpai kedamaian dalam hidup kita; “Kita” – umat Islam – justeru berpaling dari al-Quran. Al-Quran – kini — telah banyak kita sia-siakan, untuk hanya sekadar kita baca (itu pun kalau masih sempat), dan kemudian kita biarkan terkulai tak berdaya sebagai mush-haf kurang bermakna, karena berhimpit dengan onggokan naskah-naskah profan buku-buku kita yang – bahkan – lebih sering kita hormati lebih dari mush-haf (kitab) suci itu, kumpulan wahyu ilahi yang telah – dengan sangat hati-hati dan sungguh-sungguh – dibukukan oleh para sahabat nabi s.a.w. dan as-salaf al-shâlihyang – dengan keikhlasan — mereka persembahkan kumpulan wahyu Allah itu untuk umat Islam yang (kelak) memerlukannya.
