Makna I’tikaf
I’tikaf menurut bahasa adalah tidak terpisah, melekat, menetap berdiam diri pada sesuatu. Sedang menurut syari’at adalah tinggal dan menetap di masjid untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. (Lihat: al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuh, III/1749, Fiqh al-Sunnah, I/433)
Para ulama sepakat bahwa I’tikaf khususnya 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan. Dasarnya adalah al-Qur’an dan as-Sunnah.
Dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
“…(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (QS. Al Baqoroh: 187)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhori)
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
“Sesungguhnya Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam telah beri’tikaf disepuluh hari pertengahan romadhon lalu I’tikaf pada tahun tersebut sampai pada malam keduapuluh satu yaitu malam beliau keluar I’tikaf dipaginya beliau berkata barang siapa yang beri’tikaf bersamaku maka hendaklah beri’tikaf di sepuluh terakhir.” (HR. Bukhori)
Waktu I’tikaf
Dalam konteks bulan Ramadhan, maka I’tikaf dilakukan selama sepuluh hari terakhir. Ini yang paling afdhol. Jika seseorang berniat i’tikaf di sepuluh hari terakhir, maka dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21. Adapun waktu berakhirnya adalahsetelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat ied.
Pendapat Ulama Lama Waktu iktikaf
- Golongan Hanafiyyah berpendapatbahwa semua waktu di bulan Ramadhan, meski hanya berniat sejenak berdiam diri di masjid.
- Golongan Malikiyyah berpendapat,”Sehari semalam”.
- Golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang penting bisa dikatakan berdiam diri di masjid meski hanya sebentar dan berulang kali dilakukan serta tidak wajib menetap di masjid tersebut.
- Golongan Hanabalahmengatakanbahwalamanya kurang lebih satu jam atau beberapa waktu sehingga dikatakan berdiam diri.
Dari pendapat-pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa i’tikaf tidak ada batas ketentuan waktunya. Hanya dengan niat berdiam diri di masjid meski hanya sejenak, seseorang sudah dapat dikatakan beri’tikaf. Andaikata keluar dari masjid, maka dia harus mengulang niat i’tikafnya.
Tempat I’tikaf
Para ahli fiqh berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan tempat untuk I’tikaf. Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa I’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjama’ah lima waktu. Sedangkan Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan dimasjid manapun baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah ataupun tidak. Adapun pengikut Madzhab Syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya I’tikaf itu dilakukan dimasjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat jum’at agar ia tidak perlu keluar masjid ketika ingin melaksanakan shalat jum’at. (lihat: Fiqh Sunnah I/434-435)
Syarat Sah I’tikaf
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan ber’itikaf adalah
[1] Muslim.
[2] Baligh /Mumayyiz.
[3] Suci.
[4] Niat, Rasulullah bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى…
I’tikaf termasuk ibadah mahdhah yang tidak sah bila dilakukan tanpa niat seperti shalat, puasa dan ibadah lainnya. Niat juga untuk membedakan perbuatan seseorang; apakah dia berdiam diri di masjid dalam rangka beri’tikaf atau tujuan lainnya.
[5] Di Masjid.
I’tikaf hanya boleh dilakukan di masjid dan tidak keluar darinya kecuali hajat dan darurat. Tidak boleh dilakukan pada selain masjid. Sebagaimana firman Allah:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya.” (QS. Al Baqoroh: 187)
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali.
Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, “Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151)
[6] Khusus untuk istri, harus seizin suaminya.
Madzhab Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak sah i’tikaf seorang istri tanpa seizin suaminya. Sedang Madzhab Malikiyyah mengatakan,”Sah tapi berdosa”.
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri tercinta beliau untuk beri’tikaf.
(Prof, Dr. Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, III/1762)
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Nabi beri’tikaf di sepuluh akhir dari romadhon sampai wafat kemudian istri-istri beliau beri’tikaf setelahnya.” (HR. Bukhori)
Dalam Shohih Fiqh Sunnah II/151-152 dikatakan; wanita boleh beri’tikaf harus memenuhi 2 syarat: [1] Diizinkan oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).
Yang Membatalkan I’tkaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah:
[1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di luar masjid),
[2] Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah: 187 di atas.
[3] Murtad.
[4] Hilang akal seperti gila dan mabuk.
[5] Haid dan Nifas
Amalan Sunnah I’tikaf
Bagi orang yang beri’tikaf, disunnah untuk memperbanyak ibadah sunnah seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir, shalawat, berdoa dan ibadah-ibadah lain yang bisa mendekatkan ‘taqarrub’ dirinya pada Allah SWT.
Makruh hukumnya bagi orang yang sedang beri’tikaf melakukan perbuatan yang sia-sia yang akan menjauhkan dirinya dari mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah saw. pernah bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَم المَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ
“Termasuk keshalehan (kesempurnaan) Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya (sia-sia)”. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Hal yang Diperbolehkan dalam I’tikaf
1. Boleh keluar masjid karena hajat dan boleh juga mengeluarkan kepalanya keluar masjid untuk dicuci atau disisiri. Aisyah berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
“Nabi jika beri’tikaf mengeluarkan kepalanya kepada saya lalu saya sisiri, dan beliau tidak keluar kecuali untuk hajat (kebutuhan).” (HR. Muslim)
2. Dibolehkan berwudhu di masjid.
3. Boleh membuat kemah kecil atau kamar kecil dengan kain di bagian belakang masjid sebagai tempat beri’tikaf, sebagaimana Aisyah membuat kemah kecil untuk Nabi beri’tikaf.
4. Dibolehkan meletakkan kasur dalam I’tikaf, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi, bahwa beliau jika beri’tikaf disiapkan atau diletakkan kasur atau dipan di belakang tiang taubah. (Hadits ini sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu najah dalam Zawaaid Sunan-nya)
5. Boleh mengantar istrinya yang mengunjunginya di masjid sampai pintu masjid. Dengan dalil:
أَنَّ صَفِيَّةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ثُمَّ قَامَتْ تَنْقَلِبُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَهَا يَقْلِبُهَا حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ بَابَ الْمَسْجِدِ عِنْدَ بَابِ أُمِّ سَلَمَةَ مَرَّ رَجُلَانِ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكُمَا إِنَّمَا هِيَ صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَبُرَ عَلَيْهِمَا
Shofiyah berkata bahwa beliau datang menziarahi nabi dalam I’tikaf beliau di sepuluh akhir romadhon lalu berbincang-bincang dengan beliau beberapa saat, kemudian bangkit pulang. Rasulullah pun bangkit bersamanya mengantar sampai ketika di pintu masjid di dekat pintu rumah Ummu Salamah, lewatlah dua orang Anshor, lalu keduanya memberi salam kepada Nabi dan beliau berkata kepada keduanya: “Perlahan, sesungguhnya dia adalah Shofiyah bintu Huyaiy. Lalu keduanya berkata: “Subhanallah, wahai Rasululloh” dan keduanya menganggap hal yang besar. (HR. Bukhori)
Hikmah I’tikaf
I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqorrub kepada Allah; jauh dari ritunitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT.; bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepadaNya.
Ibnu Qoyyim berkata : I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf ‘melekat, tidak terpisah’ dan bersimpuh dihadapan Allah, berkhalwat denganNya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya hanya kepada Allah semata
sumber : Drs. M. Saifuddin Hadi (Anggota Majelis Tarjih PDM Kota Yogyakarta)