Gamelan Sekaten diciptakan pada jaman Kerajaan Demak, oleh Sunan Giri. Pada jaman tersebut, masyarakat masih suka dengan gamelan. Oleh karena itu, untuk mengumpulkan massa, Sunan Giri membuat gamelan dan dibunyikan di Mesjid Demak. Setelah massa berkumpul, para wali melakukan dakwah Islam. Dari dakwah tadi, warga masyarakat yang ingin memeluk agama Islam lalu mengucapkan syahadat. Dan setelah memeluk agama Islam, diperintahkan untuk berkhitan atau sunat. Maka hingga masa sekarang, warga masyarakat khususnya yang bertempat tinggal di pedesaan, menyebut khitanan dengan istilah “Ngislamaken” atau mengIslamkan.
Gamelan Sekaten buatan jaman Demak, sekarang berada di Kraton Kasepuhan Cirebon. Ada dua pendapat tentang hal ini. Pendapat pertama, Gamelan Sekaten dibawa ke Cirebon, ketika boyongan pengantin putri ke 5 dari Raden Patah, Dewi Rarawulan, yang diperistri oleh salah seorang putra Sultan Cirebon. Dewi Rarawulan meminta hadiah kepada ayahandanya, berupa seperangkat Gamelan Sekaten sebagai sarana dakwah di Cirebon. Pendapat kedua menyebutkan bahwa Gamelan Sekaten dibawa ke Cirebon ketika era Sultan Trenggana, sultan terakhir Kasultanan Demak, karena putri beliau diambil menantu Sultan Cirebon.
Sedangkan Gamelan Sekaten yang ada sekarang, adalah peninggalan Sultan Agung Hanyakrakusuma, raja ketiga dinasti Mataram. Hal ini dikarenakan ketika jaman Panembahan Senopati dan Mas Jolang, raja pertama dan kedua dinasti Mataram, masih dalam suasana peperangan, karena daerah di sekitar Mataram tidak mengakui Mataram sebagai sebuah kerajaan. Mereka berpendapat bahwa Panembahan Senopati bukan keturunan raja, hanya keturunan petani biasa. Oleh karena itu pada jaman tersebut Mataram masih berada dalam suasana peperangan, menundukkan daerah sekitarnya, sebagai sebuah sarana legitimasi kekuasaan Kerajaan Mataram. –
Ketika jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau ingin mengadakan perayaan Sekaten seperti era Kerajaan Demak, namun dibuat lebih meriah dan megah. Jika di jaman Demak, sedekah berupa tumpeng, maka di jaman Sultan Agung dibuatlah gunungan yang lebih besar daripada tumpeng. Sultan Agung juga membuat dua perangkat gamelan sekaten dengan ukuran besar, diberi nama Kanjeng Kyai Gunturmadu dan Kanjeng Kyai Guntursari. Setelah pembuatan selesai, Gamelan Sekaten ini diberi tandha tahun pembuatan, candra sengkala memet “Rerenggan Wohwohan Tinata ing Wadhah”, yang menunjukkan angka tahun 1566 J. Tanda ini dipahatkan pada rancakan gamelan, yang hingga sekarang masih dapat dijumpai di rancakan balungan gamelan sekaten Kraton Surakarta.
Setelah Perjanjian Giyanti tentang Palihan Nagari tahun 1755, antara Pangeran Mangkubumi dan Susuhunan PB III, dua perangkat Gamelan Sekaten ini juga dibagi. Kanjeng Kyai Gunturmadu diboyong ke Ngayogyakarta, sedangkan Kanjeng Kyai Guntursari tetap berada di Surakarta.
Untuk melengkapi Gamelan Sekaten Kangjeng Kyai Gunturmadu ini, Sri Sultan Hamengkubuwana I memerintahkan membuat seperangkat Gamelan Sekaten baru, dengan ukuran lebih kecil dari Kanjeng Kyai Gunturmadu, karena Sri Sultan HB I tidak ingin menyamai hasil karya leluhurnya. Seperangkat Gamelan Sekaten yang baru ini kemudian diberi nama Kanjeng Kyai Nagawilaga. Naga lambang kekuatan, Wilaga kemenangan abadi di medan perang. Nama Kanjeng Kyai Nagawilaga dipilih sebagai pengingat kemenangan Pangeran Mangkubumi setelah peperangan selama 9 tahun. Kemenangan ini dicapai berkat bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, manunggaling kawula gusti. Di Kraton Ngayogyakarta juga terdapat perangkat gamelan bernama Kanjeng Kyai Guntursari, namun bukan Gamelan Sekaten. Perangkat gamelan ini biasanya digunakan untuk latihan menabuh gending gending Sekaten, dan juga untuk mengiringi Beksan Lawung. Titi laras gamelan Kanjeng Kyai Guntursari sangat rendah, mirip titi laras gamelan Sekaten.
Kasunanan Surakarta juga membuat gamelan sekaten baru, untuk mengimbangi gamelan Sekaten Kangjeng Kyai Guntursari. Ukuran gamelan sekaten baru ini lebih besar daripada gamelan sekaten Kangjeng Kyai Guntursari. Semula, gamelan baru ini diberi nama Kangjeng Kyai Nagajenggot, namun dikemudian hari diubah namanya sesuai dengan gamelan Sekaten Sultan Agungan yang berada di Kraton Ngayogyakarta, Kanjeng Kyai Gunturmadu. Gamelan Sekaten yang baru ini dibuat pada jaman Sri Susuhunan Pakubuwana IV.
Di Kraton Ngayogyakarta, setiap harinya gamelan Sekaten Kangjeng Kyai Gunturmadu dan Kangjeng Kyai Nagawilaga disimpan di Bangsal Kasatriyan. Sedangkan di malam permulaan Upacara Sekaten, yaitu pada malam tanggal 6 Mulud, dua perangkat gamelan sekaten ini diboyong ke Penanggap Bangsal Pancaniti, komplek Kamandungan Lor, dan dibunyikan pertama kali di tempat tersebut. Pada tengah malam, dua perangkat gamelan sekaten diboyong ke Pagongan Mesjid Gedhe Kraton Ngayogyakarta. Pagongan adalah tempat khusus untuk menempatkan Gamelan Sekaten. Berada di plataran Mesjid Gedhe, sebelah selatan dan utara. Gamelan Kangjeng Kyai Gunturmadu ditempatkan di Pagongan Kidul, sedangkan gamelan Kangjeng Kyai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan Lor. Jika dilihat dari dalam masjid, maka Pagongan Kidul berada di sisi kanan masjid, sedangkan Pagongan Lor di sisi kiri masjid. Hal ini sebagai wujud penghormatan kepada Sultan Agung, sehingga gamelan buatan era Sultan Agung, ditempatkan di sisi sebelah kanan.
Para niyaga atau petugas penabuh gamelan Sekaten adalah abdi dalem pengrawit Reh Kawedanan Hageng Kridhamardawa Kraton Ngayogyakarta. Gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu ditabuh oleh para pengrawit senior, sedangkan Kanjeng Kyai Nagawilaga ditabuh oleh para pengrawit yunior, sebagai wujud regenerasi.
Gamelan Sekaten ditabuh setiap hari, mulai dari malam tanggal 6 Mulud hingga malam tanggal 12 Mulud menurut penanggalan Jawa. Gamelan ini ditabuh dari pagi hingga malam, kecuali pada waktu waktu sholat wajib. Demikian juga pada hari Kamis, gamelan tidak ditabuh hingga selesai sholat Jum’at pada hari berikutnya. Setelah puncak Upacara Sekaten yaitu pengajian di Mesjid Gedhe, pada malam tanggal 12 Mulud, dua perangkat Gamelan Sekaten kembali diboyong masuk ke kraton, dan untuk sementara ditempatkan di Bangsal Kothak, sebelah timur Bangsal Kencana.
Ricikan Gamelan Sekaten, baik untuk Kangjeng Kyai Gunturmadu dan Kangjeng Kyai Nagawilaga, ialah :
1. Bonang Barung 1 rancak lengkap dengan bonang pengapit titi laras barang (7) dan pelog (4).
2. Demung 1 rancak.
3. Saron 2 rancak
4. Peking 1 rancak
5. Kempyang 1 rancak, terdiri atas dua pencon titi laras barang (7) dan nem (6)
6. Bendhe 1 rancak, terdiri dari dua pencon titi laras nem (6) dan gangsal (5)
7. Gong ageng 2 buah
8. Bedhug
GENDHING
Karena merupakan sarana untuk dakwah agama Islam, maka gendhingnya pun dengan nama berafaskan Islami. Gendhing gendhing Sekaten dibagi menjadi tiga, yaitu Gendhing Laras Pelog Pathet Lima, Pelog Pathet Nem dan Pelog Pathet Barang.
Gendhing Sekaten Laras Pelog Pathet Lima, ialah:
1. Gendhing Rambu, berasal dari kata “Robbunaa” yang berarti “Allah Tuhanku”. Gendhing ini merupakan gendhing wajib yang harus dibunyikan ketika permulaan Upacara Sekaten.
2. Gendhing Rangkung, berasal dari kata “Ra’aakum” yang berarti “Yang memeliharamu”.
3. Gendhing Lung Gadhung
4. Gendhing Andong Andong
5. Gendhing Yaumi, yang berarti “hari”.
Gendhing Sekaten Laras Pelog Pathet Nem, yaitu:
1. Gendhing Salatun, berasal dari kata “Shalat” yang berarti “berdoa” atau “menyembah kepada Allah SWT”.
2. Gendhing Ngajatun, berasal dari kata “hajat” yang berarti kemauan.
3. Gendhing Atur Atur.
4. Gendhing Gliyung
5. Gendhing Dhindhang Sabinah
6. Gendhing Muru Putih
7. Gendhing Orang Aring
8. Gendhing Bayemtur
Gendhing Sekaten Laras Pelog Pathet Barang, yaitu :
1. Gendhing Srundeng Gosong
2. Gendhing Supiyatun, yang berarti kesucian hati.
Cuplikan dari tulisan karya Faizal Noor Singgih dengan judul “SEKATEN KRATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT” dengan nara sumber Ir. H. Yuwono Sri Suwito, yang pernah disiarkan pada Program Acara “Pocung” Pirembagan Kabudayan Jogja Tv, Senen, 07 Februari 2011 dan Senen, 30 Januari 2012.
See more at: http://www.jogjatv.tv/berita/30/03/2012/sekaten-kraton-kasultanan-ngayogyakarta-hadiningrat-0#sthash.nJUbvYIZ.dpuf