Pembahasan Seputar Mani, Madzi, dan Wadi
Ada 3 jenis cairan yang biasa keluar dari kemaluan laki-laki maupun wanita, yaitu mani, madzi, dan wadi. Dan pada masing-masingnya terdapat konsekuensi hukum yang berbeda.
? Mani
Mani memiliki bau yang khas, tidak terlalu pekat, keluar dalam keadaan cepat (memancar) diiringi rasa nikmat, dan membuat lemas setelah keluarnya. Warna mani pada laki-laki dan wanita berbeda.
Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ bersabda,
مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيْظٌ أَبْيَضُ وَمَاءُ الْمَرْأَةِ رَقِيْقٌ أَصْفَرُ
_“Mani laki-laki itu kental dan berwarna putih sedangkan mani wanita tipis/halus dan berwarna kuning.”_ (Hadis sahih; diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, dan yang lainnya)
Mani tidak hanya dikeluarkan oleh laki-laki, tetapi juga wanita. Ummu Sulaim (ibunda Anas bin Malik) _radhiallahu ‘anhum,_ datang kepada Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ dan bertanya, _“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam menjelaskan kebenaran. Apakah wanita wajib mandi jika dia mimpi basah (mengeluarkan mani)?”_
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
_“Ya, apabila wanita melihat air mani (mengeluarkan mani) maka (ketika dia bangun) dia wajib mandi.”_
Ummul Mukminin Ummu Salamah _radhiallahu ‘anha,_ yang waktu itu berada di sampingnya, tertawa dan bertanya, _“Apakah wanita juga mimpi basah (mengeluarkan mani)?”_
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
فَبِمَا يُشْبِهُ الْوَلَدُ
_“Iya. Dari mana anak itu bisa mirip (dengan ayah atau ibunya kalaupun bukan karena mani tersebut)?”_ (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana keterangan dari hadits di atas, seseorang yang mengeluarkan mani maka ia dalam kondisi berhadats besar, disucikan dengan *mandi wajib.* Ketika air mani masih basah maka bagian pakaian yang terkena mani harus di cuci. Jika kondisi sudah kering cukup dengan mengeriknya. Ulama berbeda pendapat dalam masalah mani itu najis atau suci.
Kami sarankan, jika tidak darurat, pakaian yang terkena mani tetap dicuci. Meskipun zat mani nya suci, tetap ada zat yang lain yang menyertai keluarnya mani yaitu madzi, yang ulama sepakat bahwa itu najis.
أَنَّ رَجُلاً نَزَلَ بِعَائِشَةَ فَأَصْبَحَ يَغْسِلُ ثَوْبَهُ فَقَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّمَا كَانَ يُجْزِئُكَ إِنْ رَأَيْتَهُ أَنْ تَغْسِلَ مَكَانَهُ فَإِنْ لَمْ تَرَ نَضَحْتَ حَوْلَهُ وَلَقَدْ رَأَيْتُنِى أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَرْكًا فَيُصَلِّى فِيهِ.
_“Ada seorang pria menemui ‘Aisyah dan di pagi hari ia telah mencuci pakaiannya (yang terkena mani). Kemudian ‘Aisyah mengatakan, “Cukup bagimu jika engkau melihat ada mani, engkau cuci bagian yang terkena mani. Jika engkau tidak melihatnya, maka percikilah daerah di sekitar bagian tersebut. Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”_ [HR. Muslim nomor 288]
? Madzi
Madzi merupakan cairan bening, pekat, tak berbau, keluar dalam keadaan lambat, saat keluarnya tidak disertai rasa nikmat dan lemas, kadang tidak terasa, dapat keluar saat seseorang terangsang nikmat nyaman melalui panca indera.
Madzi dapat keluar saat aktivitas saling merayu ikhwan kepada akhwat atau sebaliknya secara langsung (bertemu, bergandengan, mengobrol) atau tidak langsung (seperti chatting, sms, kirim foto, krim video), pemanasan sebelum hubungan intim, atau pun sekedar menggeliat / peregangan otot saat bangun tidur. Orang yang mengeluarkannya telah berhadats kecil maka harus *bersuci dengan wudhu* jika ada air atau tayamum jika darurat.
Cara mensucikannya dengan mencuci bagian yang terkena, minimal dialiri air (_dikucek_ sampai bekasnya hilang). Sebagian ulama memaknai hadist riwayat muslim nomor 288 pada pembahasan sebelumnya, tentang Aisyah _radhiyallahu ‘anha_
“Sungguh aku sendiri pernah mengerik mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut”
bahwa yang dimaksud dengan air mani tersebut adalah madzi yang mengering. Ketika madzi mengering, maka bekasnya seperti lem, yang bisa dikerik, sedangkan mani berupa cair dan meresap pada kain dan berbau khas.
? Wadi
Wadi adalah cairan yang keluar dari kemaluan, warnanya putih keruh, agak pekat cair, yang biasa keluar ketika setelah kencing, berkerja keras, mengangkat beban berat, berjalan jauh, atau keluar karena kencing yang tidak tuntas. Hukum wadi adalah *najis,* sehingga wajib untuk dicuci dan orang tersebut *harus berwudhu*. Jika kencing tidak tuntas, maka air wadi dapat keluar bahkan ketika dia dalam keadaan shalat, dan terasa risih di kemaluan. Maka setelah shalat harus di periksa. Jika ada bekasnya, maka bagian pakaian yang terkena dibersihkan, berwudhu, dan shalat diulangi. Namun jika yakin keluarnya tidak saat shalat (saat dzikir), maka shalat tidak perlu diulangi.
Wadi adalah cairan yang paling mudah dibedakan, karena seringnya wadi keluar sesaat setelah kita kencing. Sedangkan antara mani dan madzi perlu kecermatan dalam membedakannya.
‼Terkhusus untuk wanita, selain darah haid dan nifas, hal yang sering membingungkan status hukumnya adalah *cairan keputihan / “ifrazat”.* Secara medis keputihan disebut dengan _“flour Albus”_ yaitu semacam cairan yang keluar dari vagina wanita. Keputihan ini ada dua jenis, yaitu normal (fisiologis) dan keputihan penyakit (patologis). Keputihan normal keluar menjelang menstruasi atau sesudah menstruasi ataupun masa subur.
Jika keputihan yang keluar diiringi dengan rasa gatal di dalam vagina dan di sekitar bibir vagina maka disebut keputihan penyakit (patologis) yang disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus atau jamur). Jika cairan yang keluar sampai berwarna kekuningan atau kehijauan serta ada bau busuk yang menyengat, alangkah baiknya segera diperiksakan ke dokter.
Ulama berbeda pendapat tentang status kenajisannya. Imam Malik dan sebagian ulama mengatakan bahwa itu najis, karena keluar dari jalan yang biasa keluarnya najis. Ulama lain berpendapat itu tetap najis karena serupa dengan madzi. Ada kemungkinan juga, cairan tersebut bercampur dengan wadi atau madzi. Dalam kasus lain, misal setelah berhubungan suami istri, cairan tersebut dapat tercampur dengan air mani yang menetes dari dalam rahim. Idealnya, wanita harus tetap bersih dari cairan yang bau dan kotor, serta mampu menjaga wudhu. Namun jika kondisi sangat menyulitkan misal karena penyakit, maka Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata
فإنه ينقض الوضوء وعليها تجديده، فإن كان مستمراً، فإنه لا ينقض الوضوء
_“Keluarnya keputihan membatalkan wudhu dan wajib baginya mengulangi wudhu, jika keluar terus-menerus, maka tidak membatalkan wudhu.”_ [ Majmu’ Fatawa 1/284-286 ]
Sedangkan Imam Hanafi menganggap itu suci seperti halnya cairan yang keluar dari tubuh (ingus, keringat, dan ludah). *Keputihan pada wanita bukan keluar dari saluran kencing, tetapi keluar dari saluran yang berhubungan dengan rahim.* Ulama yang berpendapat tentang sucinya keputihan berpegang pada dalil ‘Aisyah yang mengerik mani pada pakaian Rasulullah _shallallahu ‘alaihi wa sallam._ Kita pahami bahwa kegiatan mengerik pasti tetap akan meninggalkan bekas walaupun hanya sedikit, dan Rasulullah tetap menggunakannya untuk sholat. Pada kitab-kitab hadits juga tidak didapatkan dalil yang secara tegas menyatakan najisnya keputihan, sehingga hukum keputihan kembali kepada hukum asal segala sesuatu, yaitu suci.
Syaikh Musthofa al-Adawi, seorang dai dari Mesir, setelah membawakan perselisihan pendapat ulama dalam masalah ini, beliau mengatakan,
وبإمعان النظر فيما سبق؛ يتضح أنه لم يرد دليل صريح على أن رطوبة فرج المرأة نجسة. وأما ما أورده البخاري من حديث وفيه: يتوضأ كما يتوضأ للصلاة ويغسل ذكره؛ فليس بصريح في أن غسل الذكر إنما هو من رطوبة فرج المرأة، ولكن محتمل أن يكون للمذي الذي خرج منه كما أمر النبي صلى الله عليه وسلم المقداد لما سأله عن المذي؛ فقال: توضأ واغسل ذكرك فعلى ذلك تبقى رطوبة فرج المرأة على الطهارة
Dengan melihat lebih mendalam terhadap keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil tegas yang menunjukkan bahwa keputihan wanita hukumnya najis. Sementara hadis yang dibawakan Bukhari, yang ada pernyataan, “Dia harus berwudhu sempurna dan mencuci kemaluannya..” tidaklah menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci kemaluan dalam kasus itu, disebabkan keputihan wanita. Namun bisa juga dipahami karena madzi. Sebagaimana Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam_ memerintahkan al-Miqdad ketika dia bertanya tentang madzi, jawab Nabi _shallallahu ‘alaihi wa sallam,_ ‘Dia harus berwudhu dan mencuci kemaluannya.’ Oleh karena itu, keputihan yang ada di organ reproduksi wanita, statusnya suci. (Jami’ Ahkam an-Nisa, 1/66).
Kami pribadi cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa *keputihan itu suci dan tidak membatalkan wudhu* sebagaimana keterangan terakhir
? Menjaga Kebersihan Celana Dalam
Hal ini penting untuk ditekankan kepada setiap muslim. Sering repot ketika berada di luar rumah apalagi saat perjalanan jauh, cairan dari kemaluan tidak sengaja keluar. Maka kami sarankan untuk memasang pelapis pada celana dalam agar cairan tersebut tidak mengenai kain.
Para ikhwan bisa melapisi dengan tisu terutama saat bekerja keras atau perjalanan jauh. Ketika akan melaksanakan shalat, maka lapisan yang kotor dibuang terlebih dahulu. Celana dalam, juga harus diganti secara berkala, umumnya sehari sekali. Batasan setiap orang berbeda-beda. Cara membedakan bersih atau kotor salah satunya dengan mencium baunya.
Selain itu, setelah melakukan kencing atau BAB, maka dituntaskan terlebih dalulu agar semua cairan dalam saluran kencing keluar. Bisa dengan menekan otot perut, mengurut saluran kecing (laki laki) atau memijat bagian kandung kemih sewajarnya, kemudian ditunggu beberapa saat hingga yakin tidak ada rasa risih (akibat sisa cairan) pada kemaluan. Selain itu, agar kemaluan tidak mengeluarkan cairan yang tidak diinginkan, terutama saat shalat atau saat perjalanan jauh (akan merepotkan ganti pakaian/cuci pakaian dan wudhu), maka hindari aktivitas yang mengundang rangsangan dari lawan jenis, jaga pikiran dan hati. Setiap muslim juga dianjurkan untuk menjaga fisik dengan olah raga rutin minimal 20 menit per hari supaya cairan yang keluar dari kemaluan juga terkendali.
Jika ada cairan yang keluar dari kemaluan terus menerus dan dianggap tidak wajar, maka segera periksakan ke dokter. Dalam beberapa kasus, puasa rutin (seperti puasa daud atau senin-kamis) menjadi solusi bagi orang yang sering keluar madzi atau wadi, terutama bagi anak muda di usia baligh dan produktif. Apabila hal itu divonis adalah penyakit yang membutuhkan waktu penyembuhan agak lama (seperti pemasangan kateter urin paska operasi), maka in syaa Allah ada keringanan dalam bersuci.
Wallahu a’lam bisshawab
Disusun oleh:
Isti Qona’atun, S.Gz.
Pengajar Tahsin dan Tahfidz
Assalamualaikum ustad ijin bertanya
Lantai itu statusnya bagaimana bila madzi bercampur mani di kemaluan istri lalu setelah itu klimaks di dalam dan mani nya tercecer di kasur ?? Apakah itu termasuk najis apa tidak najis??