Berbagai masjid bersejarah di Indonesia mempunyai keunikan tersendiri dalam membangun masyarakat dalam berbagai bidang. Hal ini tidak lepas dengan beranekaragaman yang ada di sekitar masjid, secara politik, ekonomi, sosial, agama dan budaya. Tentu berbeda, mengelola masyarakat ekonomi kelas atas (misal di perumahan) dengan kelas menengah ke bawah. Berbeda pula cara mengelola ketika masyarakat bersifat heterogen, terutama dalam hal keyakinan beragama. Selain itu, faktor tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat di sekitar rumah Allah juga mempengaruhi sikap para pengurus masjid. Menjadi menarik ketika perkembangan sains dan teknologi mempengaruhi cara bagaimana takmir mendekatkan masyarakat dengan masjid. Berkaitan latar belakang tersebut, Mesjid Gedhe Kauman mempunyai misi utama melayani jamaah di tengah peradaban kontemporer berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah namun tidak meninggalkan karakter asal usulnya.
Mesjid Gedhe Kauman dibangun 29 Mei 1773 M atau 6 Rabi’ul Akhir 1187 H. Pembangunan diprakarsai oleh Sultan Hamengku Buwono I dan Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat selaku Penghulu Keraton I, dengan arsitek Kyai Wiryokusumo. Masjid Gedhe merupakan salah satu simbol peradaban islam Keraton Mataram Islam. Sultan membangun pengulon, yaitu perumahan bagi penghulu kraton beserta keluarganya. Bagi para ulamaketib (khotib), modin (muadzin), merbot, abdi dalem pamethakan, diberi fasilitas perumahan yang dinamakan “pakauman” yang kemudian dikenal dg kampung kauman. Istilah kauman sendiri diambil dari bahasa Arab yaituQoumuddin yang berarti kaum / kelompok penegak agama. Dari sejarah itulah sampai saat ini kepengurusan Mesjid Gedhe Kauman dipercayakan kepada masyarakat kampung kauman.
Sebagai simbol Masjid Raya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tentunya hal tersebut menjadi amanah yang besar bagi takmir. Tidak hanya asal mengelola masjid, namun ada nilai-nilai luhur yang harus diperhatikan untuk kemaslahatan umat. Selain itu pembahasan tentang masjid sebagai cagar budaya di pusat kota Jogja menjadi tantangan tersendiri. Salah satu contoh tentang ketidakbebasan dalam hal pembangunan, di mana manfaat dari pembangunan tersebut jelas dibutuhkan masyarakat, namun hal itu tidak dapat dilaksanakan. Oleh karena itu, menjadi penting menjaga hubungan dengan pihak terkait baik pemerintah, kesultanan, pihak swasta, dan masyarakat untuk mengelola masjid ini dalam mencari jalan tengah pada setiap persoalan yang dihadapi.
Masyarakat modern dengan tantangan zaman yang saat ini tidak sederhana, memandang Mesjid Gedhe merupakan aset besar yang harus dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan masjid sebagai pusat peradaban. Salah satu contoh serambi masjid, yang dibangun pada tahun 1775 M / 1189 H, difungsikan sebagai Mahkamah Al Kabiroh. Fungsi serambi digunakan untuk pertemuan para alim ulama, dakwah islam, upacara ijab qobul, penyelesaian sengketa perkawinan / rumah tangga, pembagian harta waris, bahkan saat ini sering diadakan upacara pengislaman seorang mualaf. Hal tersebut menjadi tanggung jawab penghulu keraton yang bergelar Penghulu Hakim pada saat itu. Seiring perkembangan zaman, kepengurusan Dewan Takmir Mesjid Gedhe tidak bisa bertumpu pada beberapa orang saja. Melalui musyawarah mufakat, Dewan Takmir Mesjid Gedhe dipilih warga secara langsung untuk mengemban amanah sebagai pengelola.
Merawat Filosofi Islam
Mesjid Gedhe Kauman dibangun diatas lahan dengan luas tanah 4.000 m2, dengan luas bangunan masjid adalah 2.578 m2 (ruang sholat utama 784 m2, serambi 1.102 m2, dan ruang-ruang tambahan (yatihun, pawestren, pawudhon, ar-raubah, kamar mandi, dan sebagainya) seluas 692 m2. Dengan luas tersebut, masjid dapat menampung+ 3.500 jama’ah. Tahun 1933 atas prakarsa Sultan HB VIII, atap sirapdiganti dengan seng wiron. Tahun 1936, lantai batu kali hitam di ruang utama diganti dg marmer Itali. Ruang sholat utama ditopang oleh 36 tiang dengan 4 tiang sebagai soko guru setinggi 12 m. Pada ruang serambi, terdiri atas 2 lantai, ditopang oleh 24 tiang lantait atas dan 32 tiang lantai bawah.
Atap masjid berbentuk tajuk lambang teplok (atap bertingkat 3) adalah 3 tingkatan yang harus dicapai oleh manusia untuk kesempurnaan kehidupan, yaitu hakekat, syariat dan ma’rifat. Mustoko berbentuk daunkluwih (sejenis sukun) dan gada, bermakna bahwa manusia akan mempunyai kelebihan apabila sudah melampaui 3 tingkatan tersebut. Sedangkan bentuk gada melambangkan bentuk “alif” bermakna Allah Yang Maha Esa. Disekitar masjid ditanam pohon sawo kecik dimaksudkan agar masyarakat senantia berlaku baik (sarwo becik). Di pagar masjid dibuat buah waluh agar masyarakat senantiasa ingat kepada Allah (Wallahi). Dibangun pula “pagongan” yang digunakan untuk dakwah irama sholawat nabi setiap adanya perayaan sekaten (dari kata syahadatain). Untuk menarik masyarakat saat itu, gamelan menjadi salah satu wasilah agar masyarakat bersama – sama masuk islam. Pintu gerbang masjid yang disebut regol (bahasa jawa) / gapuro (bahasa arab “ghafuro” yang artinya ampunan) dibangun th 1840 M / 1255 H, dengan bentuk semar tinandu. Tahun 1917 m, dibangun gedung “pajagan” di kanan kiri regol/gapuro untuk para prajurit keraton yang menjaga masjid pada masa perjuangan sebagai markas asykar perang sabil.
Mengingat Sejarah Menginspirasi Jamaah.
Berbagai peristiwa penting berlangsung di Mesjid Gedhe Kauman di masa lampau. Pada zaman penjajahan, kita bisa mencari fakta sejarah bagaimana Mesjid Gedhe Kauman menjadi salah satu titik pertahanan para pejuang di Yogyakarta saat itu. Selain itu, tentu berdirinya muhammadiyah juga merupakan turunan bagaimana peran dakwah K.H. Ahmad Dahlan di Mesjid Gedhe Kauman. Salah satu peristiwa penting lainnya di mana Jenderal Sudirman, pahlawan bangsa yang menginspirasi berbagai kalangan untuk berjiwa patriotisme, wafat dan diberangkatkan dari Mesjid Gedhe Kauman.
Rangkaian – rangkaian sejarah memberikan spirit islam rahmatan lil ‘alamin harus hadir di lingkungan sekitar masjid. Untuk mewujudkan kerahmatan ini, perlu kerja sama antara takmir masjid dengan masyarakat secara umum. Mengenal dan memetakan potensi masyarakat kauman merupakan hal yang perlu dilakukan takmir masjid dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Terdapat beberapa komunitas masyarakat yang secara langsung maupun tidak langsung dipayungi oleh takmir.
Tiga Saka Membangun Generasi Masjid
Kampung kauman secara umum tersinergi antara tiga pilar (saka) di dalamnya. Pilar yang dimaksudkan adalah himpunan atau organisasi yang menjadi ruh kampung islam ini. Ketiga pilar tersebut adalah Masjid Gedhe Kauman, Muhammadiyah dan Kamtibmasling (keamanan, ketertiban, kemasyarakatan, lingkungan). Melalui tiga pilar, saat ini masyarakat kauman sedang menggalakkan program kampung hijau. Di lingkungan sekitar masjid memang harus segar, bersih, dan sehat. Warga juga gotong royong untuk membuat kelompok tani kota dan hidroponik. Masyarakat juga ingin mewujudkan kampung ramah anak, yang bersinergi dengan SD Muhammadiyah Kauman, Mu’alimin, Mu’alimat, bela diri Tapak Suci, TK ABA dan kelompok PAUD. Selain kampung hijau dan ramah anak, masyarakat sekitar masjid mempelopori kampung tanggap bencana. Tentunya sebagai pusat perdaban di kota Jogja, ketika bencana terjadi, baik bencana alam atau bencana akibat perbuatan manusia masjid menjadi salah satu tempat rujukan masyarakat.
Pada era modern, takmir menjadikan masjid sebagai pusat informasi dengan adanya radio komunitas Saka FM. Di bidang pendidikan, takmir membangun fasilitas ruang kelas dan perpustakaan digital. Di bidang kesehatan, program pelayanan kesehatan, posyandu, donor darah selalu diadakan setiap tahunnya. Di bidang ekonomi, wisata religi dikelola oleh komunitas Saka Wisata dan adanya pengembangan UMKM yang bekerja sama dengan BMT Beringharjo yang masih satu komplek dengan Mesjid Gedhe Kauman. Pada akhirnya, arsitektur peradaban masjid diimplementasikan melalui komunitas – komunitas yang berprestasi di masing – masing bidang, sehingga menjadi ujung tombak untuk membentuk generasi masjid yang berkemajuan.
Disusun oleh :
Ridwan Wicaksono, S.T., M.Eng.
Sekretaris I Takmir Masjid Gedhe Kauman
sangat penting ini, sangat membantu terimakasih