Puasa Melahirkan Dimensi Sosial

Selain berdimensi spiritual, puasa juga berfungsi melahirkan dimensi sosial. Melatih kepekaan kita dan mendidik jiwa kita untuk perduli kepada sesama. Bukan hanya menjaga hubungan baik kita dengan Allah (hablumminallah) melainkan menjaga hubungan baik kita dengan manusia (hablumminannas) juga merupakan hal yang utama.

Ada satu fenomena tentang kemanusiaan yang cukup mengusik hati kita, yaitu ketika seorang Syeikh di Makkah memberikan kajian tentang Ramadhan. Kemudian di akhir kajian, dibuka dialog interaktif. Ada seorang bapak dari Somalia berusia tujuh puluh tahun bertanya melalui telepon. Bapak tersebut menanyakan prihal puasa, “Wahai Syeikh, jika saya tidak berbuka dan tidak sahur, apakah puasa saya tetap sah?”. Mendengar pertanyaan tersebut, sang Syeikh tidak mampu menjawab, beliau hanya terdiam dan meneteskan air mata. Karena beliau tau, bapak tua tadi tidak berbuka dan tidak sahur karena memang tidak ada apapun yang bisa dimakan dan diminum. Karena kita tau bahwa Somalia adalah negara yang sering terjadi kekeringan dan banyak fenomena kelaparan di sana.

Sungguh gambaran di atas menyayat relung hati kita. Bahwa masih ada saudara kita, seiman dan seagama yang tidak bisa berbuka dan sahur karena mereka tidak punya apapun untuk dimakan dan diminum. Di saat kita bisa menikmati indahnya berbuka dan sahur dengan hidangan makanan yang tersaji berbagai macam menu. Ternyata banyak saudara kita di belahan dunia lain yang membutuhkan kepedulian dan pertolongan kita. Bahkan bisa jadi ada juga saudara atau tetangga terdekat kita yang mengalami nasib sama yaitu sangat membutuhkan uluran tangan kita.

Seorang ulama bernama Muhammad Ja’far bin Ash-Shadiq pernah mengatakan, “Kalau ingin melihat kedalaman agama seseorang, jangan lihat berapa banyak dia sudah mengerjakan sholat. Bukan pula dilihat dari seberapa sering dia berpuasa. Tapi kedalaman agama seseorang dapat dilihat dari caranya memperlakukan orang lain secara baik.” Dalam hal ini Rasulullah juga bersabda:

عَنْ أَبِي حَمْزَةَ أَنَسْ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، خَادِمُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى  اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه

[رواه البخاري ومسلم]

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, beliau bersabda: Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Bila kita tidak rela melihat diri kita, keluarga kita menderita dan sengsara, maka kita juga tidak boleh rela melihat saudara kita, tetangga kita sengsara. Bahkan kita tidak dikatakan beriman ketika malam kita tidur dengan keadaan kenyang sedangkan ada tetangga kita yang tidur dalam keadaan lapar. Sehingga dalam hal ini Rasulullah mengajarkan ketika kita memasak sayur maka dibanyakkan kuahnya agar dapat berbagi dengan tetangganya. Karena pagar mangkok lebih kuat dan kokoh daripada pagar tembok.

Allah juga berfirman dalam surat Ali Imran ayat 92:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Memberikan yang terbaik dan paling kita cintai kepada saudara kita sebagai wujud kepedulain adalah bukti iman kita dan tercatat sebagai kebajikan yang sempurna. Di akhir artikel ini, ada satu kisah di masa Nabi Musa AS. Ketika itu ada seseorang meminta Nabi Musa untuk menanyakan kepada Allah, apakah dirinya masuk surga. Setelah ditanyakan kepada Allah, ternyata jawabannya dirinya tidak masuk surga. Orang itupun heran dan tidak terima, karena merasa ibadahnya siang malam dan semua yang diperinyahkan Allah dikerjakan. Lantas orang itu meminta Nabi Musa untuk menanyakan kepada Allah sekali lagi, apakah dirinya masuk surga. Jawaban Allah yang kedua, bahwa dirinya masuk surga.

Apa yang menyebabkan seorang tersebut masuk surga padahal sebelumnya dia sudah divonis tidak masuk surga. Ternyata ketika Nabi Musa menanyakan yang kedua kalinya, terbersit dalam hati seorang tersebut, “Ya Allah, jika memang diriku masuk neraka. Maka besarkanlah badanku agar tidak ada satupun manusia yang masuk neraka. Cukup diriku saja yang merasakan pedihnya siksaan neraka.” Dengan niat dan hati tulus ingin berkorban demi saudaranya dan mengorbankan dirinya agar saudaranya selamat, maka itulah yang kemudian mengundang ridha dari Allah SWT sehingga dirinya masuk surga.

Wallahua’lam.

Disusun oleh :
Beta Pujangga
Rumah Tarjih Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *