Kata Sekaten, kata yang sangat familiar dai Jogja. Hampir semua orang jogja pasti pernah menyaksikan dan berkunjung di arena “Sekaten”. Tapi diantara sekian banyak masyarakat Jogja ternyata hanya sedikit yang mengetahui apa dan bagaimana sekaten serta sejarah dilaksanakannya upacara Sekaten. Berikuta akan saya sampaikan hal-hal yang berhubungan dengan Sekaten.
Tulisan ini karya Faizal Noor Singgih dengan judul “SEKATEN KRATON KASULTANAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT”
dengan nara sumber Ir. H. Yuwono Sri Suwito, yang pernah disiarkan pada Program Acara “Pocung” Pirembagan Kabudayan Jogja Tv, Senen, 07 Februari 2011 dan Senen, 30 Januari 2012.
Tulisan tersebut akan saya unggah dalam beberapa judul yang sesuai dengan tulisan aslinya
Sejarah
Upacara Sekaten dimulai pada jaman Kasultanan Demak Bintara. Yaitu ketika Sultan Syah Alam Akbar I atau Raden Patah naik tahta sebagai Sultan Demak. Kenaikan tahta Raden Patah bertepatan tanggal 12 Robiulawwal tahun 1501 M. Tanggal 12 Robiulawwal merupakan tanggal lahir Nabi Muhammad SAW. Raden Patah ketika naik tahta bergelar Senopati Jimbun Abdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Gelar ini kelak dikemudian hari dilestarikan oleh Panembahan Senopati, di jaman Mataram, turun temurun hingga Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Upacara kenaikan tahta Raden Patah dipimpin oleh Kanjeng Sunan Ampel, anggota tertua Walisanga. Sunan Giri membacakan syahadat dilanjutkan dengan bacaan riwayat nabi. Upacara ini hingga sekarang masih dilestarikan oleh Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada saat Upacara Sekaten. Hari berikutnya diadakan Upacara Garebeg.
Setelah Raden Patah bertahta sebagai sultan di Demak Bintara, semua upacara peninggalan leluhur jaman Hindu Budda akan dihapus, dengan pertimbangan memeluk agama Islam haruslah kaffah. Namun karena ketika itu masyarakat yang memeluk agama Islam belum banyak, dan berbagai upacara peninggalan leluhur akan dihapus, maka banyak warga yang telah memeluk Islam menjadi kecewa, bahkan ada sebagian yang murtad, keluar dari agama Islam. Kebetulan, terjadi pageblug, mala musibah, sehingga warga yang telah memeluk agama Islam merasa semakin masgul, merasa bersalah terhadap leluhur, dengan anggapan bahwa terjadinya mala petaka pageblug karena berbagai upacara yang biasa dilakukan, tidak dijalankan bahkan dihapus atau dilarang. Untuk menengahi, maka para wali memberi kelonggaran, tetap menjalankan berbagai upacara tersebut, namun nuansanya dibuat lebih Islami.
Karena merupakan sebuah upacara besar, maka ada pendapat bahwa Upacara Sekaten mencontoh atau meneruskan jalannya upacara jaman Hindu Budda, dimana nuansa dan suasananya dibuat lebih Islami oleh para wali. Ada juga pendapat bahwa Sekaten mencontoh Upacara Srada jaman Majapahit. Juga ada pendapat lain, bahwa upacara ini mencontoh Upacara Rajamedha atau Rajawedha. Upacara Rajamedha, merupakan sebuah upacara ritual yang dipimpin langsung oleh raja, yang dianggap sebagai titisan dewa. Raja merupakan tokoh central, maka timbul gelar Dewaraja, sehingga dalam upacara tersebut terdapat pengkultusan individu. Sedangkan Upacara Sekaten lebih mengedepankan sedekah dari raja kepada rakyatnya, dan dalam Islam tidak ada atau tidak diperbolehkan pengkultusan individu.
ISTILAH SEKATEN
Ada beberapa pendapat tentang asal istilah Sekaten.
1. Berasal dari kata Syahadatain, yang berarti percaya kepada dua hal yang benar yang termaktub dalam syahadat tauhid dan syahadat rasul. Hal ini dapat diterima logika.
2. Berasal dari kata Sakhatain, yang berarti dermawan, berbudi pekerti luhur, serta mengabdi kepada Allah SWT. Hal ini juga dapat diterima logika.
3. Berasal dari kata seseg ati, karena Fatimah (putri Nabi Muhammad SAW) ketika meninggalnya Sayidina Hasan dan Husen. Hal ini tidak kontekstual, karena Fatimah meninggal tidak lama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, sehingga tidak mengetahui kematian Sayidina Hasan dan Husen, pada jaman Khalifah Ali bin Abu Tholib.
4. Berasal dari kata sekati, yang berarti bobot 1 kati = 1 dacin = 62,5 kg, karena ada anggapan bahwa bobot gong gamelan Sekaten seberat 1 kati. Hal ini juga tidak kontekstual, karena pembuatan gamelan adalah monolit sehingga tidak dapat ditaksir bobot akhir setelah gamelan jadi, selesai dikerjakan.
5. Berasal dari kata suka ati, yang berarti senang hati karena diajak masuk agama Islam, agama yang suci.
6. Berasal dari nama gamelan Kyai Sekati, namun pada kenyataannya gamelan Sekaten peninggalan jaman Sultan Agung, bernama Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, bukan Kyai Sekati.
Aneka pendapat tersebut banyak termuat dalam berbagai pustaka, oleh karena itu harus diteliti lebih lanjut, sehingga tidak semua pustaka dapat digunakan untuk acuan kebenaran. Dari berbagi pendapat diatas, kata Syahadatain dan Sakhatain, lebih dekat dengan Sekaten, dari sisi makna.
See more at: http://www.jogjatv.tv/berita/30/03/2012/sekaten-kraton-kasultanan-ngayogyakarta-hadiningrat-0#sthash.nJUbvYIZ.dpuf