Siapakah Ulil Amri?

Orang-orang yang menerima kewajiban dalam syariat dengan motivasi, senang hati dan keikhlasan, tentu tidak akan menjadikannya sebagai beban. Mereka akan merasakan nikmatnya, karena mereka menganggapnya sebagai kebutuhan, bukan kewajiban semata.

Ibnu Abbas, seorang sahabat nabi, pernah menyimpulkan apabila ada ayat yang dimulai dengan seruan “yaa ayyuhaa alladziina aamanuu”, hampir semuanya selalu diikuti perintah atau larangan yang cukup berat bagi umatnya. Karena memang yang diberi beban (taklifi) itu hanyalah orang-orang yang beriman.

Dalam Quran Surat An-Nisaa ayat 59

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. …”

Hingga sekarang, para ulama terpecah dalam mensikapi dan berpendapat mengenai pemahaman siapakah Ulil Amri itu. Ada yang mengklasifikasikan Ulil Amri itu adalah orang-orang yang memiliki kekuatan hukum. Misalnya di Saudi Arabia, yang keputusan awal puasa ditentukan oleh Mahkamah Agung. Dan di Mesir, yang dianggap sebagai Ulil Amri adalah Syekh yang paling dihormati.

Di Indonesia sendiri, ada bermacam pendapat mengenai siapakah Ulil Amri itu. Ada 3 pola pendapat:

  1. Pemerintah adalah Ulil Amri, karena Pemerintah kita dipimpin oleh orang Islam. Dan Departemen Agama sudah mewakili pemerintah.
  2. Ulil Amri adalah pemimpin-pemimpin umat, tokoh-tokoh masyarakat yang secara resmi dipilih oleh jamaahnya. Sebagai contoh, ketua Muhammadiyah, ketua Nu, dll.
  3. Ulil Amri adalah penerus nabi. Yaitu orang-orang yang memiliki kriteria:
  4. Bersih
  5. Punya ilmu dan ilmu tentang agamanya mendalam.

Jika ia berfatwa atau berpendapat tidak pernah menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Ia juga tidak pernah menonjolkan pendapatnya.

  1. Orang yang selalu Istiqomah, konsisten, berani ber-Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yang selalu berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah.

Sebagai contoh, keistiqomahan Alm. Huya Hamka yang ketika menjabat sebagai ketua MUI, beliau berani berbeda pendapat dengan Suharto sebagai presiden, ketika memberi fatwa tentang haramnya orang islam mengikuti ritual peringatn natal dengan dalil-dalil dan alasan-alasan yang jelas.

Dalam mengamalkan surat An-Nisaa ayat 59 tersebut, tentu landasan yang sejalur adalah bukan kekuasaan, melainkan konsistensi dalam mengamalkan perintah Allah, tuntunan Rasul dan kedua-duanya diteruskan oleh orang-orang yang layak disebut Ulil Amri.

Ibnu Bayim Al-Jaziah menyimpulkan seluruh isi Al-Quran, bisa diklasifikasikan menjadi 4 masalah pokok :

  1. Akidah (yang lurus)
  2. Ibadah, karena ibadah adalah bukti bahwa manusia bertakwa kepada Allah.
  3. Akhlaqul Karimah
  4. Kelebihan Al-Quran dibanding kitab-kitab lain. Salah satunya adalah Al-Quran banyak memuat tentang hubungan manusia dengan manusia yang disebut dengan Muamalah Duniawiyah.

Muamalah Duniawiyah ini selalu menjadi pembicaraan yang tidak pernah tuntas. Bagaimanakah hubungan ekonomi islam, jual beli, sewa menyewa, pinjamm meminjam, dll. Perlu kejelasan untuk mengaplikasikannya dengan perkembangan teknologi dan budaya yang semakin luas. Jadi, Muamalah Duniawiyah ini akan terus berkembang. Maka, kita butuh orang-orang yang faham tentang ilmu keduniaan, sekaligus punya konsistensi terhadap Al-Quran dan As-Sunnah sehingga bisa memberikan fatwa untuk mengajak kita mengamalkan islam semuanya, baik itu akidah, ibadah, muamalah duniawiyah, akhlaqul karimah, dan sebagainya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *