Cublak-cublak suweng

Para wali atau ulama di Jawa selalu memberikan wejangan kepada masyarakat melalui tembang atau symbol-simbol agar lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa.

Mungkin dikarenakan tidak berhasilnya proses kaderisasi dikalangan ulama jaman dahulu sehingga pada akhirnya ajaran-ajaran yang bernilai dakwah itu menjadi luntur karena masyarakat hanya menjadikannya sebuah tembang belaka tanpa mengetahui makna yang sesungguhnya terkandung dalam tembang tersebut.

Masih banyak lagi tembang-tembang yang bernilai dakwah yang diciptakan oleh para wali atau ulama jaman dahulu utnuk media dakwahnya, antara lain :

Gundhul-gundhul pacul

Ilir – ilir

Sluku-sluku bathok

Dan masih banyak lagi yang lain.

Penulis akan coba meringkas dan mengkaji kembali makna tembang – tembang tersebut yang disarikan dari berbagai sumber .

Cublak cublak suweng , Suwenge ting gelenter

Mambu ketundhung gudel, Pak empo lera-lere

Sapa ngguyu dhelikake, Sir – sir pong dhele kopong, Sir – sir pong dhele kopong

Sebuah syair tembang dolanan yang dulu sering sekali dinyanyikan oleh anak-anak  terutama di wilayah yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu.

Cublak-cublak suweng mempunyai makna tempat tersimpannya harta yang berharga yaitu suweng (giwang) yang pada jaman dahulu biasa dipakai oleh masyarakat yang berkedudukan social yang tinggi. Semakin besar giwang yang dikenakan maka akan menunjukkan semakin tinggi kedudukan sosialnya.

Suwenge ting gelenter, secara harfiah mengatakan bahwa suweng(giwang) itu tercecer dimana-mana, dan ada dimana-mana. Menggambarkan bahwa barang yang sangat berharga tersebut sebenarnya ada di sekitar kita.

Mambu ketundhung gudel, gudel adalah anak kerbau yang biasanya mempunyai ba yang tidak sedap, sebagai symbol orang-orang bodoh. kerbau di banyak tempat selalu menjadi symbol kebodohan . Karena mendengar ada harta benda  yang berserakan dimana-mana tersebut maka orang yang bodoh berusaha mencari dimana-mana. Karena tidak dibekali dengan ilmu dan ketenangan jiwa maka orang-orang bodoh tersebut tetap saja merasa bahwa harta mereka belum mencukupi dan masih selalu merasa kurang, dan masih berusaha untuk meraih yang lain.

Karena masih merasa kekurangan maka mereka masih melihat berbagai tempat dan arah untuk mendapatkan harta tersebut. Hal ini terdapat pada bait selanjutnya yaitu Pak empo lera-lere. Materi yang banyak dan kesuksesan duniawi tidak bisa membuat mereka puas.

Sapa ngguyu ndhelikake, bagi orang – orang yang berilmu dan dibekali dengan ketenangan jiwa maka sebenarnya mereka telah menemukan harta yang paling berharga atau kebahagiaan hakiki, sehingga mereka hanya tertawa melihat orang-orang yang disibukkan dengan mencari harta tanpa kenal lelah dan tak mengenal kata puas. Mereka tertawa melihat orang-orang berbahagia dengan kesenangan semu atau palsu yang hanya sesaat.

Orang-orang yang berilmu sudah merasa berbahagia meskipun tidak tampak kemewahan harta pada diri mereka, karena mereka telah memiliki harta yang tersembunyi (sapa ngguyu dhelikake),

Pada akhirnya orang – orang bodhoh berteriak-teriak karena merasa telah memiliki  dan mendapatkan kesenangan dunia sehingga  berani menyombongkan diri dengan harta yang berlimpah meskipun sebenarnya yang dimilikinya hanyalah kesenangan sesaat. Dele kopong menggambarkan orang yang banyak berbicara namun omongannya tak benyak membawa manfaat dan bukanlah kebenaran yang hakiki . inilah makna yang terkandung pada bait terakhir yaitu Sir –sir pong dhele kopong.

Secara bebas tembang tersebut bermakna bahwa banyak sekali manusia yang menganggap bahwa harta benda adalah sumber kebahagiaan manusia (Cublak-cublak suweng), sehingga mereka rela melakukan  apapun dan kemanapun demi memperoleh harta benda tersebut (Pak empo lera-lere), karena tak punya rasya syukur maka ia tak pernah puas dengan harta yang dimiliknya dan tak tahu bahwa sumber kebahagiaan bukanlah harta benda (mambu ketudhung gudel) padahal sebenarnya kebahagiaan hakiki itu sangat dekat yaitu berada dalam hati manusia sendiri sehingga bagaimanapun keadaannya dan dimanapun ia berada bila ia bersyukur maka akan selalu bahagia (suwenge ting gelenter). Dengan kata lain bahwa kebahagian manusia terletak pada rasa syukur manusia atas apa yang dimilikinya (sapa ngguyu ndhelikake). Orang yang tak berilmu tak mengetahui bahwa rasya syukur itu adalah bagian dari harta manusia yang paling berharga dan harta benda yang melimpah adalah kebahagiaan semu (sir pong dhele kopong).

sumber gambar : kamusjawa.com

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *