Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III, Pemerintah Kolonial Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Gubernur Jendral Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat.
Dibawah pengawasan Pemerintahan Kolonial Inggris, keraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personil. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.
Ketika Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kraton yang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis. (Bekas tempat-tempat pemusatan kesatuan tersebut kini dikenal dengan nama daerah Wirobrajan, Patangpuluhan, Jogokaryan, Ketanggungan, Prawirotaman, Bugisan dll…)
Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakarta dibubarkan oleh pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit keraton dihidupkan kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personil. Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut yaitu: Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis (Bekas tempat-tempat kesatuan tersebut kini dikenal dengan nama daerah Wirobrajan, Patangpuluhan, Jogokaryan, Ketanggungan, Prawirotaman, Bugisan dll…)
Sekarang ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebut masih dapat dilihat oleh masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat..
Sumber : http://jogjaicon.blogspot.com