Sejarah Singkat Masjid Gedhe Kauman

Mesjid Gedhe Jogjakarta merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dengan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang didirikan oleh Ngarsa Dalem Sampean Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana  Senopati ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ing Ngayogyokarto Hadiningrat (HB I).

Ketika membicarakan sejarah Masjid Gedhe maka juga tidak bisa lepas dari adanya Kraton, demikian juga ketika membicarakan tentang Masjid Gedhe maka tidak lepas dari pembicaraan tentang kampung tempat Masjid Gedhe berdiri yaitu kampung Kauman, karena kampung Kauman sengaja didirikan sebagai kelengkapan dari adanya Masjid Gedhe, yaitu sebagai tempat tinggal para pengurus Masjid Gedhe.

Masjid Gedhe adalah poros sentral bagi lima MasjidPahtok Negara NgayogyakartaHadiningrat,  yaitu  :

Masjid Mlangi / An Nur / Masjid Kulon, Masjid Plosokuning / Masjid Sulthoni/ Masjid lor, Masjid Babadan / Ad Darojatun / Masjid Wetan, Masjid Dongkelan / Nurul Huda / Masjid Kidul, Masjid Wonokromo / Taqwa / Masjid Kidul.

Masjid Agung Kauman bersama masjid masjid Pathok Negara menjadi bagian dari masjid Kerajaan sehingga menjalankan fungsi ketakmiran bersama-sama. Kedudukan para imam/pengulu/kyai pengulu masjid juga menjadi anggota al-Mahkamah al-Kabirah (Badan Peradilan Kesultanan Yogyakarta) dalam tingkat Peradilan Agama Islam. Imam Besar Masjid Agung kauman menjadi ketua Mahkamah yang bergelar Kanjeng Kyai Penghulu. Dalam sistem hukum dan peradilan Kerajaan, Sultan tetap memegang kekuasaan kehakiman tertingi.

Kelima masjid tersebut di pimpin oleh seorang imam yang juga menjadi perangkat peradilan Keraton Yogyakarta  yang menginduk kepada Masjid Agung Kauman di Alun Alun Yogya.

Selain membangun fasilitas bagi kaum dhuafa, di seputaran masjid juga dibangun fasilitas bagi pengurus masjid. Para ulama, khotib, serta abdi dalem diberi fasilitas perumahan di sekitar masjid yang diberi nama Kauman, yang berarti “tempat para kaum”. Sedangkan untuk penghulu keraton dan keluarga, Sultan menyediakan perumahan di sisi utara yang dinamakan Pengulon

Beliau menunjuk arsitek K. Wiryokusumo untuk merancang masjid ini. dan Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat sebagai penghulu pertama. Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat atau Kyai Muhammad Faqih merupakan saudara ipar dari Sultan Hamengkubuwono I, Kyai Muhammad Faqih menikah dengan putri pertama Ki Derpoyodo sedangkan Sultan Hamengkubuwono I menikah dengan putri ke dua Ki Derpuyudo. Kyai Faqih yang kemudian menyarankan kepada sultan agar diangkatnya para Pathok Kesultanan.

Pathok yang dimaksud oleh Kyai Muhammad Faqih ketika itu adalah Para ulama yang bertugas memberikan pendidikan moral kepada masyarakat yang dapat mengajar dan menuntun akhlak dan budi pekerti. Kyai Muhammad Faqih sendiri pada ahirnya juga diangkat sebagai Pathok oleh Sultan Hamengkubuwono I. Dan salah satu masjid Pathok Negara Jogya, yaitu Masjid Pathok Negara TaqwaWonokromo didirikan pertama kali oleh Kyai Muhammad Faqih di atas tanah perdikan pemberian Sultan Jogya.Masjid Gedhe yang didirikan di atas tanah seluas 16000 m2  ini pembangunannya dilaksanakan delapan belas tahun setelah berdirinya kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat melalui perjanjian Giyanti 13 Februari 1755.

Pembangunan-nya dilaksanakan atas perintah dari Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755-1792) dan selesai dibangun pada hari Minggu 29 Mei 1773,  sebagaimana yang tertulis dalam prasasti : Pada hari Ahad Wage, 6 Robiul’akhir tahun Alip, dengan sengkalan :“GAPURA TRUS WINAYANG JALMA” ( 1699 Jw.=1187 H=1773M).

Beliau menunjuk arsitek Kyai RM Wiryokusumo untuk merancang masjid ini, dan Kyai Faqih Ibrahim Dipaningrat sebagai penghulu pertama. Kyai Faqih Ibrahim Dipaningrat atau Kyai Muhammad Faqih merupakan saudara ipar dari Sultan Hamengkubuwono I. Kyai Muhammad Faqih menikah dengan putri pertama Ki Derpayuda sedangkan Sultan Hamengkubuwono I menikah dengan putri ke dua Ki Derpayuda

.Oleh karena jamaahnya melimpah, maka pada tahun 1775 dibangunlah Serambi Masjid Gedhe pada  Hari Kamis Kliwon, tanggal 20 Syawwal tahun Jimawal, sinengkalan “ YITNA WINDU RESI TUNGGAL”(1701 Jw) Atau “TUNGGALWINDU PANDITA RATU” (1701 Jw./ 1189 H 1775 M ).

Serambi ini dinamakan Al Mahkamah Al Kabirah yang berfungsi sebagai ruangan untuk Pengadilan agama tertinggi waktu itu, juga berfungsi sebagai tempat pertemuan para ulama, pernikahan dan peng-Islaman.

Selain Serambi, dibangun pula ”PAGONGAN” ( Pa= tempat, Gong= salah satu instrumen alat musik Jawa Gamelan), letaknya di halaman masjid, di dua tempat yaitu sudut kiri dan sudut kanan halaman. Tempat ini digunakan sebagai tempat peralatan dakwah dengan pendekatan kultural yaitu Gamelan Sekaten, yang dibunyikan pada setiap peringatan Maulid nabi Muhammad Saw. Instrumen musik Gamelan Sekaten ini sangat terkenal dan punya daya tarik pada masyarakat untuk mengenal dan kemudian memeluk agama Islam dengan sukarela. Nama SEKATEN sendiri berasal dari kata ”SYAHADATTAIN” yang berarti dua kalimah syahadat.

Pada tahun 1840 dibangun REGOL MASJID yaitu pintu gerbang yang dikenal sebagai GAPURO, berasal dari kata ”ghofuro” ampunan dari dosa, adapun maksudnya mungkin bila orang memasuki masjid melewati Gapuro, berniat baik memasuki Islam, akan mendapatkan ampunan dosa. Pembangunan regol ini dilakukan pada hari Senin, tanggal 23 Syuro tahun Dal, sengkalan ”PANDITO NENEM SEBDO TUNGGAL” = 1767Jw.=1255 H = 1867 M.

Pada tahun 1867 di Jogjakarta terjadi gempabumi yang cukup dahsyat, yang akibatnya termasuk runtuhnya bangunan Serambi Masjid Gedhe, dan bahkan juga membawa korban termasuk Kyai Pengulu yang menjabat pada saat itu. Peristiwa LINDU atau gempabumi itu tercatat pada prasasti yaitu pada hari Senin Wage, pukul 5 pagi, tanggal 7 Sapar tahun Ehe, sengkalan ”REBAHING GAPURA SWARA TUNGGAL”  (1796 Jw). ”WARNA MURTI PAKSA NABI” (1284 H / 1867 M). Namun tidak lama kemudian Sri Sultan Hamengku Buwana VI memberikan kagungan dalem ”SURAMBI MUNARA AGUNG” yang sedianya akan dipakai untuk bangunan pagelaran, kemudian ditempatkan sebagai Serambi Masjid Gedhe. Pemasangannya menurut prasasti ialah : pada hari Kamis Kliwon, pukul 09 pagi, tanggal 20 Jumadilakhir tahun Jimawal”PANDITA TRUS GIRI NATA” (1797 Jw).”GATI MURTI NEMBAH HING HYANG” (1285 H / 1868 M). Serambi Masjid Gedhe yang baru ini luasnya dua kali lipat dari serambi sebelumnya yang roboh, serambi yang baru masih utuh sampai kini.

Pada tahun 1917 dibangun gedung PAJAGAN ( Pa= tempat, Jaga = berjaga keamanan ) atau disebut juga dengan Balemangu yang berjumlah 2 buah atau sepasang, terletak di kanan kiri regol masjid, memanjang ke utara dan ke selatan. Gedung ini digunakan untuk para Prajurit Kraton ( tentara Kraton ), untuk keamanan masjid dan setiap hari besar Islam. Pada zaman Revolusi Perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, gedung Pajagan ini digunakan untuk pusat MARKAS ULAMA ASYKAR PERANG SABIL (MU-APS)yang membantu TNI melawan Agresi Belanda.

Pada tahun 1933 atas prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, lantai serambi masjid yang tadinya dari batu kali diganti dengan tegel kembangan yang indah. Selain itu pula diadakan penggantuian atap masjid, dari sirap diganti dengan seng wiron yang tebal dan lebih kuat. Pada tahun 1936 atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana VIII pula diadakan pergantian lantai dasar masjid, yang dulunya dari batu kali kemudian diganti dengan marmer dari Italia.

Dalam rangka memakmurkan Masjid Gedhe, kepengurusannya dipegang oleh Penghulu Kraton, dibantu oleh Ketib, Modin, Merbot, dan Abdi Dalem Pamethakan serta Abdi Dalem Kaji Selusinan dan Abdi Dalem Barjamangah. Mereka itu sebagian ditempatkan di lingkungan sekitar Masjid Gedhe, yang kemudian berkembang menjadi sebuah kampung bernama Pakauman ( tempat para Kaum = Qoimmuddin = Penegak Agama ). Dengan demikian Masjid Gedhe menjadi makmur, sebagai pusat berjama’ah dan juga menjadi pusat pengkajian serta pengadilan agama Islam di Jogjakarta.

Sumber tulisan : H. A. Adaby Darban S.U.

sumber foto      : Jogjatrip, mas koko, koleksi saka wisata

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *